Thank you for not smoking in my airspace!

Kamis, 06 November 2008

UNDIP bebas rokok?

aaahhh.... yg bener....?

baca ini dulu deh...

Pimpinan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Diponegoro beserta jajarannya, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM FKM Undip) dan Lembaga Kemahasiswaan FKM Undip memiliki komitmen untuk menciptakan kampus bebas asap rokok.

Satu hal yang menjadi catatan penting bagi civitas akademika FKM dalam upaya menuju perubahan yang lebih baik ini: “ Semua orang mempunyai kebebasan, Anda bebas untuk merokok, tapi saya juga bebas untuk menghirup udara yang bersih dan segar, jadi bebaskan FKM dari asap rokok”

Di Indonesia, puluhan juta orang bahkan mungkin hampir ratusan juta orang memiliki kebiasan merokok. Dari tahun ke tahun harga rokok terus bertambah, akan tetapi penikmat rokok tidak mengalami penurunan bahkan cenderung meningkat. Merokok sudah merupakan konsumsi rutin yang telah mengakar di dalam sebagian besar masyarakat Indonesia. Hal ini adalah salah satu masalah kesehatan yang kian mengkhawatirkan, karena semakin banyak jumlah perokok berarti semakin banyak saja penderita gangguan kesehatan akibat merokok (mengenai bahaya coba kita baca lagi dengan keras peringatan pemerintah tentang bahaya merokok di setiap bungkus rokok, sangat mengerikan bukan? Atau malah tidak mengerti?) atau pun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif).

Jika untuk "prestasi" yang tidak bisa dibanggakan, Indonesia seringkali "berhasil" duduk di lima besar, baik di tingkat regional maupun dunia. Dalam peringatan Hari Anti tembakau Internasional, Indonesia masih dihadapi kenyataan sebagai negara yang termasuk lima besar konsumsi rokok dunia. Berkaitan dengan kebiasaan merokok, ada yang aneh dengan bangsa ini. Jika bangsa-bangsa lain menunjukkan tren menurun konsumsi terhadap merokok, di Indonesia justru memperlihatkan kenaikan meski masih dililit problem ekonomi. Lebih celaka lagi, biaya yang dikeluarkan masyarakat untuk konsumsi rokok jauh lebih besar dibandingkan anggaran kesehatan per kapita.

Sepertinya rokok memberikan kontribusi yang signifikan bagi pemasukan negara. Tahun lalu, pemerintah mendapat masukan dari pos penerimaan cukai rokok dan minuman keras sebesar Rp 27,9 triliun atau sekitar 98% berasal dari industri rokok. (Kompas, 25 Maret 2003). Namun keuntungan tersebut berbanding terbalik dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk biaya kesehatan. Biaya kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah sebesar tiga kali lipat dari cukai yang didapat. Artinya jika negara mendapatkan keuntungan sebesar 27 trilyun maka biaya kesehatan yang dikeluarkan adalah sebesar Rp. 81 trilyun (defisit 54 trilyun).

Permasalahan rokok tidak lagi menjadi permasalahan kedaerahan melainkan telah berkembang menjadi permasalahan nasional bahkan international. Dalam ratifikasi konvensi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang ditrandatangani oleh 150 negara, setiap negara harus melaksanakan konvensi antara lain, kawasan bebas tanpa rokok, kenaikan cukai, penghapusan iklan di media massa dan menyertakan health warning di setiap bungkus rokok dengan mencantumkan gambar orang yang terkena dampak dari merokok, seperti kanker.

Namun sayangnya banyak universitas sebagai komponen intelektual di Indonesia seakan “lepas tangan” terhadap regulasi rokok di dalam Institusinya. Di Semarang sangat sedikit sekali Universitas yang sampai saat ini telah mencanangkan kawasan bebas asap rokok. Bahkan Undip sendiri pun, untuk menjadikan “Undip Bebas Asap Rokok” baru sekedar pewacanaan belum terdapat langkah nyata dalam mewujudkan “impian” tersebut.

Tulisan tersebut dikutip dari situsnya UNDIP.